Al Arif merupakan Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Ketua IV DPW Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jakarta, Associate CSED INDEF, serta saat ini sebagai Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan

Pengangguran Sarjana dan Reformasi Pendidikan Tinggi

Minggu, 6 Juli 2025 17:45 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pembaruan Visa Sementara Pascasarjana: Masa Berlaku Lebih Lama Tersedia untuk Lulusan Tertentu
Iklan

Pendidikan tinggi adalah harapan besar bagi generasi muda dan dianggap sebagai tiket menuju kehidupan yang lebih baik.

***

Rilis Badan Pusat Statistik per Februari 2025 melaporkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Dari jumlah tersebut tercatat sebanyak 1,01 juta diantaranya merupakan lulusan universitas alias sarjana. Kondisi ini menunjukkan paradoks pendidikan, dimana kian banyak sarjana namun makin banyak pula yang menganggur. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem pendidikan kita masih relevan dengan realitas dunia kerja atau tidak?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendidikan tinggi adalah harapan besar bagi generasi muda dan dianggap sebagai tiket menuju kehidupan yang lebih baik. Alih-alih menjadi solusi, pendidikan tinggi kini tampak kehilangan arah. Ribuan lulusan dilepas ke pasar kerja tiap tahunnya, namun banyak dari mereka tidak terserap.

Salah satu akar persoalan adalah ketimpangan antara jumlah lulusan dan lapangan kerja yang tersedia. Sektor formal tidak berkembang secepat jumlah lulusan. Sebagian besar lulusan berasal dari bidang-bidang yang pasarnya sudah jenuh: manajemen, akuntansi, hukum, komunikasi. Sementara sektor-sektor seperti teknologi informasi, pertanian modern, industri kreatif, atau energi terbarukan justru kekurangan tenaga terampil.

Selain itu, terjadi ketimpangan wilayah. Sebagian besar kampus dan pusat industri terkonsentrasi di Jawa. Lulusan dari luar Jawa kesulitan mengakses peluang kerja yang layak. Mereka menghadapi hambatan geografis, akses jejaring profesional yang minim, serta kurangnya pelatihan pasca lulus.

Dari sisi sosial, pengangguran sarjana lebih tinggi pada kelompok masyarakat miskin. Artinya, pendidikan tinggi belum sepenuhnya menjadi alat mobilitas sosial. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan tinggi masih sangat ditentukan oleh modal sosial dan ekonomi mahasiswa.

Tak bisa dimungkiri, banyak perguruan tinggi masih menggunakan kurikulum yang kaku, teoritis, dan tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Mahasiswa dijejali teori yang kerap tak aplikatif. Praktikum minim, magang formalitas, dosen jarang terlibat dunia industri, dan kolaborasi kampus-industri masih sebatas seremoni. Akibatnya, lulusan kerap mengalami culture shock saat memasuki dunia kerja dan harus belajar kembali dari nol.

Sementara itu, perkembangan teknologi dan kebutuhan pasar bergerak cepat. Kompetensi seperti kecerdasan buatan, analisis data, dan desain digital menjadi tuntutan di berbagai sektor. Namun, kurikulum pendidikan tinggi tidak cepat menyesuaikan.

Kondisi yang lebih memprihatinkan, pendidikan tinggi kita kurang menanamkan soft skills dan semangat kewirausahaan. Padahal, delapan dari sepuluh keterampilan yang paling dibutuhkan dunia kerja adalah soft skills yaitu kemampuan komunikasi, kerja tim, berpikir kritis, kepemimpinan, dan pemecahan masalah.

Reformasi sistem pendidikan tinggi bukan sekadar tuntutan teknis, melainkan sebuah keharusan struktural dan kultural. Reformasi yang dimaksud mencakup beberapa hal mendasar. Kampus harus mengubah pendekatan belajar menjadi lebih fleksibel dan responsif. Pendekatan berbasis proyek, studi kasus, kolaborasi lintas disiplin, serta integrasi teknologi digital harus menjadi bagian utama kurikulum.

Mahasiswa tidak bisa terus dijejali gagasan bahwa bekerja kantoran adalah satu-satunya jalan hidup. Inkubator bisnis, dana awal wirausaha, dan kemitraan dengan dunia usaha harus menjadi bagian dari kampus.

Dari sisi dosen pun harus mendapatkan pelatihan industri secara rutin, mengikuti sertifikasi profesional, dan menjalankan riset terapan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dosen tidak cukup hanya menjadi pengajar, tapi harus menjadi pembimbing kehidupan.

Dunia usaha dan pemerintah harus dilibatkan sejak tahap perencanaan kurikulum hingga implementasi magang. Kolaborasi ini penting untuk memastikan lulusan siap pakai dan sesuai kebutuhan pasar.

Reformasi juga menuntut perubahan paradigma besar. Di banyak negara maju, pendidikan tinggi mulai meninggalkan pola linier 4 tahun. Sebagai gantinya, lahir sistem modular dan microcredential, dimana mahasiswa bisa mengambil kursus singkat yang relevan dan mengakumulasi sertifikat menjadi gelar.

Pembelajaran juga menjadi lebih terbuka, fleksibel, dan digital. Kampus bukan lagi bangunan fisik semata, melainkan ruang-ruang pembelajaran daring, kolaboratif, dan internasional. Mahasiswa bisa belajar lintas kampus, lintas negara, bahkan lintas industri.

Pengangguran sarjana tidak hanya harus diatasi dengan memperbaiki pendidikan, tetapi juga dengan membuka sektor-sektor kerja baru yang potensial. Pendidikan tinggi harus menyiapkan mahasiswa untuk sektor-sektor tersebut melalui kurikulum adaptif dan pelatihan berbasis kebutuhan.

Sudah saatnya kampus mengajarkan mahasiswa untuk tidak selalu menjadi pencari kerja, tetapi pencipta kerja. Reformasi pendidikan tinggi juga harus membuka ruang untuk model kerja nonkonvensional seperti freelancing, remote working, dan gig economy.

Banyak lulusan yang kini lebih memilih bekerja mandiri sebagai penulis lepas, desainer, konsultan digital, atau pelatih daring. Sistem pendidikan harus menyiapkan mereka dengan keterampilan kewirausahaan dan literasi digital tinggi.

Selain itu, kampus harus mengaktifkan kembali jejaring alumni, pusat karier, dan koneksi ke dunia industri. Mahasiswa butuh pendampingan untuk memahami bagaimana menghadapi transisi dari dunia akademik ke dunia kerja nyata.

Sistem informasi pasar kerja, pelatihan keterampilan kerja, dan pendampingan karier harus diperkuat agar mahasiswa memiliki panduan transisi yang mulus dari dunia kampus ke dunia kerja.

Reformasi pendidikan tinggi adalah langkah strategis dalam membangun Indonesia Emas 2045. Pendidikan tidak boleh lagi menjadi menara gading. Ia harus menjadi ruang pembebasan dan pemberdayaan.

Kampus yang baik bukan yang menghasilkan lulusan terbanyak, tetapi yang melahirkan manusia unggul yaitu adaptif, kreatif, kolaboratif, dan solutif. Jika sistem pendidikan tinggi kita mampu bertransformasi, maka pengangguran sarjana bukan lagi ancaman, melainkan masa lalu. Karena pada akhirnya, pendidikan tinggi bukan soal gelar, melainkan soal bekal hidup.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mohammad Nur Rianto Al Arif

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia, Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahan Pangan, Ketua IV DPW IAEI Jakarta, dan Associate CSED INDEF

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler